Thursday, November 24, 2011

TANGGUNG JAWAB KEPALA SEKOLAH

Artikel ini diambil dari koran harian Suara Merdeka tanggal 22 Nopember 2011 sebagai bahan refleksi dan mawas diri sekaligus renungan bagi para guru. Semoga kejadian ini tidak akan terulang ataupun direplikasi oleh sekolah-sekolah lain. Selengkapnya mari kita simak yang berikut:

Baru-baru ini kami mendapat informasi dari salah satu orang tua murid mengenai persoalan anaknya yang saat ini terpaksa pindah sekolah karena diancam tidak naik kelas oleh wali kelas VIII A SMP Negeri 3 Semarang. Meskipun peristiwa ini terjadi 4 bulan lalu (Juni 2011), tepatnya ketika anak tersebut masih kelas VIII, namun persoalan ini sangat penting untuk kami sampaikan kepada masyarakat luas sebagai bahan pengetahuan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi ketika menghadapi arogansi pihak sekolah.

Setelah kami mempelajari kronologi peristiwanya, jelas ada tindakan arogan dari wali kelas tersebut. Apa dan bagaimana tindakan dimaksud? Berikut ini kami paparkan kronologi peristiwanya. Secara singkat dapat kami informasikan bahwa ketika orang tua akan mengambil rapor kenaikan kelas (dari kelas VIII naik ke kelas IX) untuk anaknya yang bernama V. Saat itu hari Kamis tanggal 16 Juni 2011, orang tua murid mendapat telepon dari wali kelas supaya bisa menemui. Sampai di sekolah ditemui oleh wakil kepala sekolah dan wali kelas. Wakil kepala sekolah menjelaskan, anak yang bersangkutan tidak naik kelas. Bukan karena nilainya kurang, tetapi disebabkan sering datang terlambat. Namun wali kelas menjelaskan bahwa nilainya kurang. Mana yang benar?

Wali kelas memberikan solusi nilai rapor akan dikatrol sehingga anak tetap bisa naik kelas tetapi syaratnya harus pindah sekolah. Waktu itu karena nilai rapor belum diisi. Orang tua murid mohon supaya bisa bertemu dengan kepala sekolah, tetapi beliau tidak bisa ditemui. Kata wali kelas, soal kenaikan kelas bukan tanggung jawab kepala sekolah, melainkan ditentukan rapat dewan guru. Anehnya, dari beberapa keterangan guru yang mengikuti sidang pleno menyatakan bahwa nama V bukan termasuk anak yang tidak naik kelas.

Kemudian hari Jumat (17/6) orang tua murid berusaha lagi untuk bisa ketemu dengan kepala sekolah, tetapi beliau tetap tidak bisa ditemui. Akhirnya orang tua murid mau memindahkan anaknya ke SMP Negeri 34 Semarang, maka wali kelas baru mau mengisi nilai rapornya. Malangnya, perpindahan sekolah itu tidaklah gratis, sebab harus membayar uang sumbangan yang cukup besar, yaitu Rp 6.000.000 (enam juta rupiah).

Hari Senin, 20 Juni 2011, ketika orang tua mengambil rapor ternyata tidak ada satu pun nilai pelajaran di bawah KKM, nilai rata-ratanya justru di atas 8. Benarkah nilai itu merupakan katrolan? Berdasarkan record selama ini dari awal kelas VII anak tersebut tergolong cerdas, jadi tidak mungkin nilai tersebut karena hasil katrolan.

Setelah kami pelajari tata tertib dan syarat-syarat kenaikan kelas pada SMP Negeri 3 tersebut ternyata tidak kami temukan satu pun klausul yang memuat komponen ’’keterlambatan’’ menjadikan sebab seorang siswa tidak naik kelas. Salah satu klausulnya apabila tidak masuk sekolah tanpa izin selama 18 hari dalam satu tahun masa belajar maka sanksinya anak dikembalikan kepada orang tua. Anehnya, ada salah satu siswi bernama R yang yang justru lebih banyak telat daripada V, tetapi tetap naik ke kelas IX, ada apa sebenarnya dengan SMPN 3 Semarang?

Bagi kami, kasus ini merupakan ’’penyalahgunaan wewenang’’ (abuse of power) dari kepala sekolah yang serius, sebab mustahil semua itu di luar kewenangannya. Oleh karena itu mohon kepada wali kota dan kepala dinas pendidikan Kota Semarang segera menelusuri mengapa kasus tersebut bisa terjadi? Kemudian, perlu kami informasikan kepada khalayak bahwa ketika warga masyarakat tanpa terkecuali mendapatkan suatu keputusan khususnya dari lembaga pemerintah yang dinilainya tidak adil atau merugikan secara sepihak, maka masyarakat bisa menggugatnya melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tentu saja harus memenuhi syarat-syarat formal maupun material seperti yang tercantum di dalam UU No 5 /1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahannya yakni UU No 9/2004.

Atau bisa juga masyarakat menggugatnya melalui perdata dengan berdasarkan pada KUH Perdata pasal 1365. Untuk itu berhati-hatilah para pemimpin/ penguasa dalam menjalankan tugas dan kewajiban, sebab kepemimpinan Anda akan bisa digugat oleh masyarakat manakala Anda menyalahgunaan kekuasaan/wewenang yang dimiliki. Negara kita bukanlah monarki yang berdasarkan atas kekuasaan melainkan negara demokrasi yang berdasarkan atas konstitusi (hukum).

Suprayitno
Ketua LP3N
Jl Pusponjolo Barat IV/11 Semarang

No comments:

Post a Comment

Twitter Bird Gadget